Siapa yang tidak kenal dengan pengacara handal
Trihardiningrat. Pengacara kondang di kalangan pejabat-pejabat pemerintahan dan
para politisi. Banyak kasus-kasus ruwet telah dimenangkannya. Pengacara yang
berasal dari Surabaya, Jawa Timur ini merupakan salah satu pengacara yang luar
biasa terkenal namanya dari sekian banyaknya pengacara yang ada di Jawa Timur.
Sikapnya yang dingin semakin membuat sangar penampilannya dalam menangani
kasus-kasusnya.
“Pi,
bagi duitnya dong!” todong Bimbim di depan pintu.
Belum juga menyandarkan punggungnya di sofa ruang tamu,
Bimbim anak sulung Pak Tri sudah membuka tangannya minta duit seperti anak
kecil minta uang jajan. Padahal bimo bukanlah remaja yang masih pantas
menodongkan tangan kepada orang tuanya untuk minta uang, harusnya dialah yang
membagi duit hasil kerja untuk orang tuanya. Bimo sudah menikah namun dia masih
belum bekerja hingga usia pernikahannya hampir 5 tahun, apalagi dia sudah
memiliki seorang putra. Sudah waktunya dia menafkahi keluarga kecilnya sendiri.
Tanpa berkata, Pak Tri membuka
dompetnya dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu dan segera
mengangsurkannya pada anak sulungnya itu. Itulah pak Tri orangnya sangat dingin
tanpa kata.
“Mas,
si Reza sudah habis susunya. Bagi duit dong!” kata Zi kepada suaminya
“Minta sama Mami sana, uangku sudah
habis, sekalian minta yang banyak nanti bagi denganku!”
kata Bimbim dengan entengnya.
“Lagi-lagi minta Mami, sampai kapan
akan hidup seperti ini!” teriak si Zi pada suaminya.
“Bukannya sejak awal kita telah
hidup seperti ini. Aku tidak memiliki pekerjaan yang tetap, kalau ada job
dengan teman-teman ya dapat duit kalau tidak ya tidak dapat. Lagipula orang
tuaku tidak mempermasalahkannya.” Kata Bimbim tak kalah kerasnya.
“Kenapa baru sekarang
mempermasalahkannya, kalau tidak suka pergi saja.” Kata Bimbim sambil lalu
meninggalkan istrinya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Zizi pun mengambil keputusan
untuk sementara waktu akan meninggalkan rumah dan mencari kesibukan di Jakarta,
pulang ke kotanya. Dia meninggalkan anak di rumah sang mertua.
“Mi,
aku titip Reza dulu untuk beberapa hari,” ujar Zizi pada mertuanya.
“Lha,
kamu mau kemana? Kok lama?” tanya sang mertua.
“Jakarta,
ma. Ada kontes memasak yang aku ikuti.” Jelas Zizi pada mertuanya.
Setelah itu tidak ada kata-kata lagi. Zizi pergi
meninggalkan anak dan suaminya dalam waktu entah berapa lama. Sampai
kontes memasak selesai.
“Mau
kemana mbak Zizi, kok Reza ditinggal disini, mi?” tanya Izi pada mamanya.
Pertanyaan Izi membuyarkan lamunan maminya.
“Oh,
itu Zizi mau ke Jakarta.” jawab sang
mami pendek.
“Pulang?
Kenapa tidak sama mas bimbim? Reza ditinggal lagi,” selidik Izi.
“Dia ikut kontes memasak itu
lho, sekarang waktunya kontes di Jakarta. Tidak tahu masuk tahapan apa dia itu!” jelas bu Tri pada
putri bungsunya.
“Oalah itu tho. Ternyata masih
berlanjut, kirain sudah selesai. Lha mas bimbim sudah diberi tahu apa belum?” tanya
Izi.
“Enggak tahulah, zi. Mami pusing
mau istirahat dulu, titip Reza ya?” kata mami.
“Lha piye tho, mi. Izi kan mau
ke salon beli wig, wignya Izi sudah ketinggalan model mi. Bagi duit dong, mi,”
kata Izi.
Dengan langkah gontai sang mami melangkah ke kamar,
merebahkan badan sejenak untuk menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba
mendatanginya akibat memikirkan masa depan anak-anaknya.
Izi adalah anak bungsu, dia mengalami kelainan sejak
kecilnya. Rambut tidak bisa tumbuh menghiasi kepalanya, tentu sebagai seorang
perempuan rambut adalah mahkota, wajar jika dia menutupi kekurangannya tersebut
dengan memakai wig sebagai ganti rambut yang tidak bisa ia miliki.
Sang mami selalu memikirkan jodoh untuknya, siapakah
gerangan laki-laki yang dengan tulus ikhlas mau menerima kekurangannya tersebut.
Setiap ada laki-laki yang mendatanginya selalu gagal di tengah jalan padahal
Izi telah mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk itu semua.
Sedikit kegalauan sang mami sedikit berkurang sejak 3 bulan
terakhir ini karena si bungsu ini kelihatannya sudah menemukan tambatan
hatinya, sesosok pria yang hadir dalam hidupnya. Dan dalam jangka waktu 3 bulan
tersebut mereka telah sepakat untuk menikah. Inilah hal yang ditunggu-tunggu
oleh Izi dan orang tuanya, paling tidak hal ini sedikit mengurangi beban pikiran
tentang si Bimbim dan anak lainnya.
Di tengah-tengah kesibukan mempersiapkan pernikahan sang
putri dan kegembiraan, menyeruak suatu hal yang bernama kerinduan. Rindu pada
anak kedua yang sedang menuntut ilmu di bumi Eropa. Diantara ketiga anak yang
dimilikinya, paling tidak, anak kedua ini memberikan rasa bangga tersendiri
bagi Pak Tri dan Bu Tri. Ozy, anak kedua yang mandiri, dia bekerja sebagai
waiters di salah satu rumah makan di sana, sebagian uangnya dia kirimkan pada
orang tuanya. Saat itulah Bu Tri meneteskan airmata keharuan yang luar biasa,
ternyata ada anak yang memberikan rasa bangga untuknya.
Mi kukirimkan uang ini untuk mami, uang ini merupakan hasil kerja saya
selama ini di bum Eropa inii.
Ternyata mencari uang itu tidak semudah apa yang saya bayangkan dulu,
sungguh sangat sulit sekali dan sekarang saya memahami itu semua. Terimalah
uang yang tidak seberapa ini, insyaallah saya disini bisa mencukupi kebutuhan
dengan pekerjaan saya saat ini.
Kecup saying anakmu
Pernikahan yang megah ini, Izi memilih untuk tidak
menghadirinya, dia lebih memilih kontes memasak yang diikutinya, padahal
segalanya telah dipersiapkan untuk dirinya. Entahlah, sampai kapan dirinya itu
akan tetap bergelut dengan dunia kontes memasak yang diikutinya. Kontes ini masih
sangat panjang perjalanannya, ini juga masih tahapan seleksi yang berpusat di
Jakarta belum lagi jika dia nanti masuk menjadi 12 besar pasti dia akan lebih
lama lagi untuk stay di Jakarta, dan
yang paling dikhawatirkan adalah karantina. Adanya karantina ini semakin sulit
untuk akses dengan keluarga.
Meski tanpa kehadiran Zizi di tengah-tengah acara resepsi
pernikahan ini toh acaranya tetap berlangsung dengan meriah dan megah. Semua
orang telah tenggelam dalam pesta yang menghabiskan dana ratusan juta ini.
Ucapan-ucapan selamat banyak tertulis di karangan bunga yang berbaris rapi di
jalan sepanjang pintu masuk gedung acara resepsi pernikan ini. Dan yang menjadi
pemandangan luar biasa adalah para tamu, banyak dari kalangan pejabat
pemerintahan, pengusaha, politisi, dan para artis, tentu mereka semua adalah
para koleganya, orang-orang yang telah ia sukseskan kasusnya di pengadilan.
Anak kedua mereka tidak datang dengan alasan study tidak bisa ditinggalkan dan jarak yang begitu membentang jauh.
“Zi,
maaf ya aku tidak bisa datang. Studyku
tidak bisa ditinggalkan,” kata Ozy pada adiknya via telepon.
“lha,
mas. Tidak hadir gimana tho, acara bahagiaku kok tidak hadir,”balas Izi.
“Meski
aku tidak hadir do’aku akan tetap mengiringimu,” Jawab Ozy.
“Ealah
mas, pesen tiket kan gampang entar tinggal minta kirimi uang papi,”kata Izi.
“Bukan
itu masalahnya, Zi, tapi karena kuliah dan kerjaan yang tidak bisa ditinggal.
Insyaallah uangku juga cukup untuk membeli tiket pulang.” Jelas Ozy.
“Ya wislah
mas, kalau begitu,”kata Izi sewot.
“Semoga
barokah ya pernikahanmu, langgeng sampai tua hehehe,” kata Ozy diakhir
percakapan mereka.
Mungkin sejak kecil mereka semua
telah terbiasa tanpa orang tua. Tidak ada sesosok ayah yang menemaninya bermain
dan tidak ada sesosok ibu yang mendampingi hari-harinya. Semuanya sibuk mencari
uang, dengan alasan semua itu untuk mereka, kebahagiaan mereka. Padahal intinya
bukan itu, mereka membutuhkan kehadiran ayah dan ibu mereka, membantu
mengerjakan PR dan menemaninya bermain serta menjadi teman yang perhatian bagi
mereka.
Zizi ternyata menemui kegagalan dalam melangkah tahap
selanjutnya namun dia telah memutuskan untuk tetap tinggal di kota tercintanya.
Tetap tinggal di Jakarta. Entahlah apa yang telah membuat dia berpikir
demikian, apa dia sudah merasa bosan dengan kehidupan rumah tangga yang telah
dilaluinya bersama anak sang pengacara kondang? Apapun alasannya untuk saat ini
dia belum mau melangkahkan kakinya menuju Surabaya.
Sedangkan sang suami tidak pernah mempermasalahkannya, tidak
menghubunginya bahkan hanya lewat pesan pun tidak. Sang suami ternyata asyik
dengan dunianya sendiri, mungkin itu adalah salah satu sebab ia masih bertahan
di Jakarta. Zizi sekarang punya kesibukan yang lain, dia membuka usaha pesan
kue, dia memasarkan kue-kuenya pada tetangga dan teman sekitar, lumayan
sekarang dia ada kesibukan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.
“Zi,
kapan balik ke Surabaya? Kamu sudah lama tinggal di Jakarta, meninggalkan anak
dan suamimu. Tidak baik lama-lama meninggalkan keluarga lho,” tegur sang Ibu
tiba-tiba.
“Entahlah,
bu. Saya masih ingin berada dekat ibu,” jawab Zizi.
“Tentu
bukan itu alasanmu untuk berlama-lama tinggal di Jakarta dengan statusmu yang
sudah jadi seorang istri dan ibu,” lanjut Ibu.
“Bu,
izi ini masih bingung dengan keputusan Izi . Biarkanlah Zizi berpikir
masak-masak dalam mengambil keputusan. Biarkan zizi tinggal disini untuk
sementara waktu.” Jelas Zizi.
“Ya
sudah kalau itu maumu, tapi ibu sarankan kamu harus segera pulang menemui
suamimu dan segera selesaikan bagaimana baiknya. Jangan sampai mertuamu
berpikiran macam-macam, ibu hanya memberikan saran, kamulah yang membuat
keputusan karena kamu sudah dewasa, sudah bisa memilih mana yang baik dan mana
yang buruk untukmu.” Sang ibu bangkit meninggalkan Zizi yang sedang duduk
termenung sendiri.Kata-kata sang ibu barusan benar-benar menbuat Zizi berpikir
keras dalam mengambil keputusan.
Seperti biasanya, apapun yang
dilakukannya dia selalu diam. Dan kali ini pun dia telah mantap dengan
keputusan yang telah dibuatnya, entahlah keputusan apa yang dibuatnya tidak ada
yang tahu, dia menyimpan semuanya dalam pikirannya sendiri begitu pun dengan
beban yang sedang dialaminya dia simpan rapat di dalam hatinya. Cukup hanya dia
seorang yang tahu bahkan sang ibu dilarang keras untuk mengetahuinya.
Setelah menikah Izi dan suami
tetap tinggal di rumah megah sang mertua. Mereka memang telah sepakat
bahwasannya Izi-lah yang akan menjadi teman orang tuanya oleh sebab itu mereka
tetap tinggal disana. Hari demi hari mereka lewati bersama, sang suami tetap
dirumah sedangkan Izi kerja di kantor ayahnya. Izi dan orang tua pun tidak
pernah mempermasalahkan hal itu namun ada yang salah kelihatannya, bimbim
sering uring-uringan.
Pagi itu Zizi telah melangkahkan kakinya menuju Surabaya,
dan ternyata dia tidak menemui suami dan anaknya dirumah. Seketika itu dia tahu
kemana dia akan mencari mereka, di rumah mertua. Tidak ada yang menyangka kalau
pagi itu merupakan titik awal dari kegaduhan yang akan muncul dirumah megah
itu.
Tanpa mengetuk pintu dia langsung membuka pintu dan masuk ke
dalam rumah, ternyata dia mendapati anak dan suaminya disana. Semua penghuni
masih sibuk dengan piring dan sendok.
“Pagi
semua,” Kata Zizi membuyarkan kesenyapan di rumah itu.
“Oalah
nduk, sudah pulang. Ayo bergabung makan, nduk,” kata sang mertua.
“Tidak
mi, saya lagi malas sarapan. Silahkan diteruskan, saya mau istirahat capek di
perjalanan,” Jelas Zizi sambil melangkah santai ke kamar tamu.
“Sudah
kalah pulang, coba kalau tidak kalah pasti tidak akan pulang. Kalau susah baru
ingat sini. Istri macam apa dia itu meninggalkan anak dan suami,” Celoteh Izi.
“Sudah,
di meja makan jangan bicara,” Jawab Pak Tri singkat lalu melangkah pergi.
Bu Tri membuntuti suami tanpa
ada pembicaraan yang terjadi.
“Aku
mau ngomong mas?” kata Izi.
“Ngomong
saja biasanya juga tanpa izin,” Kata bimbim dengan santai.
“Mas
kalau seperti ini terus lebih baik kita berpisah. Aku tidak saanggup kalau
harus meminta orang tua terus tanpa ada usaha,” Kata Zizi membuka
percakapannya.
“Oh,
jadi kamu punya malu, bukannya selama 5 tahun kita menikah kita hidup dengan
cara seperti ini, meminta uang kepada orang tuaku? Lalu kenapa baru sekarang
kamu mempermasalahkannya? Mentang-mentang kamu sudah bisa cari uang sendiri,
iya?” kata Bimbim dengan keras.
“Selama
ini mungkin rasa Maluku, aku simpan dalam-dalam. Dan aku berharap jika suatu
hari nanti akan ada perubahan dan sampai hari ini masih belum juga ada
perubahan. Jadi aku putuskan kalau kita lebih baik berpisah saja,” jelas Zizi.
“oh,
yo wis lek ngono, muleh o saiki,”
Usir Bimbim.
Tanpa ba bi bu Zizi meninggalkan
rumah itu tanpa anaknya. Dia meninggalkan anak pada suaminya. Dia telah yakin
pada keputusannya, dan dia tidak akan menyesal dengan keputusannya saat ini.
Kini, dia akan kembali ke habitatnya dulu. Menanggalkan gelar menantu seorang
pengacara kondang.
Setahun lebih telah berlalu sejak pernikan Izi berlangsung.
Dia telah memiliki seorang putri dan kehidupannya tetap sama, suami
pengangguran dan dia bekerja di kantor papinya.
Sedangkan Bimbim dia tetap hidup seperti itu pengangguran
bersama seorang anak dan tanpa istri. Sampai saat ini belum jelas status dari
mereka berdua, setahun telah berpisah namun surat cerai belum ditangan
masing-masing. Anak diasuh oleh nenek dan kakeknya.
Ozy, asyik dengan dunianya sendiri di belahan bumi Eropa,
dia sama sekali tidak pernah pulang. Tapi dia senantiasa mengirimkan uang untuk
kedua orang tuanya. Sedangkan Zizi telah menggeluti usaha barunya yaitu membuat
kue. Semuanya saling diam, tiada yang saling mengingatkan satu sama lain atas
tindakan yang telah dilakukannya. Begitu pula dengan orang tua, merekapun hanya
diam tanpa kata. Dan dengan diamnya masing-masing memicu peperangan yang disebut
dengan perang dingin.