Empat puluh tujuh tahun silam, beliau lahir di muka bumi ini dan menjalani
kehidupan yang keras ini. Beliau tidak terlahir di tengah-tengah keluarga yang
kaya raya tapi beliau hadir di keluarga yang pas-pasan dalam mencukupi
kebutuhan hidup. Bukan kota tapi desa, bukan keramik tapi tanah, bukan tembok
tapi bilik bambu, itulah tempat tinggal beliau sejak dilahirkan. Beliau
memiliki lima orang saudara tapi dua orang telah meninggal.
Sejak kecil, beliau telah diajarkan bagaimana caranya untuk bertahan dalam
mengarungi kehidupan yang keras ini. Sejak anak-anak beliau sudah diajarkan
untuk bekerja dengan ikut sang ibu dan bapak ke sawah sehingga ketika dewasa
telah menjadi orang yang biasa akan hidup dengan bekerja keras. Sebelum menikah
beliau pernah bekerja di Surabaya selama tiga tahun lamanya, pekerjaan yang digeluti
adalah mengobras pakaian dengan upah Rp 15000/bulan, ditahun ke-tiga gaji
beliau naik menjadi Rp 25000/bulan.
Setelah tiga tahun bekerja beliau harus pulang karena menikah dengan pemuda
desa. Setelah menikah hingga saat ini beliau memutuskan untuk bekerja sebagai
pedagang sayur keliling dari desa satu ke desa lainnya. Sang suami bekerja sebagai petani,
menggarap sawah sendiri dan sebagai buruh tani. Beliau bekerja sebagai pedagang
sayur keliling untuk membantu perekonomian keluarga lumayan hasilnya bisa untuk
makan sehari-hari.
Ketika adzan subuh berkumandang, beliau bangun dan mandi tanpa menghiraukan
dingin yang begitu menggigit, bersiap-siap untuk ke pasar. Sebelum ke pasar
beliau memasak untuk sang suami karena suaminya juga akan ke sawah di pagi
hari. Setelah makanan sudah tersaji beliau sia-siap untuk berangkat ke pasar.
Mengecek sepeda tuanya, apa kurang angin atau tidak, memasang bakul di bagian
belakang sepeda sebagai tempat sayuran yang dibelinya di pasar. Hari masih
gelap beliau mengayuh sepeda tuanya menuju pasar, sepeda yang dinaiki bukanlah
sepeda yang layak pakai karena tidak ada rem yang pakem terpasang, sebagai
gantinya sandal bekas yang ditaruh di bagian depan ban belakang ban sepeda,
beliau akan menginjaknya ketika akan me-ngerem, syerem dech membayangkannya.
Setelah sampai di pasar beliau akan segera memenuhi bakul besarnya dengan
sayur, lauk pauk, bumbu, buah, dan jajanan pasar. Dengan berbekal uang Rp
200000 beliau membelanjakan semuanya. Setelah penuh bakulnya beliau akan
mengayuh sepedanya kembali, kali ini bebannya berat karena ditambah dengan
barang jualan tapi beliau tidak mengeluh tanpa memedulikan matahari yang
memanggang tubuhnya. Beliau berhenti di setiap rumah yang sudah menjadi
langganannya. Jika keberuntungan berpihak pada beliau maka beliau akan pulang
cepat tidak perlu jauh-jauh untuk menjajakan barang dagangannya tapi kalau lagi
sepi beliau akan berkeliling kembali untuk menjajakannya, kadang-kadang
barangya masih dan dibawa pulang untuk dimasak sendiri atau dijajakan keesokan
harinya.
Sekitar pukul 09:00 beliau tiba di rumah, sesampai di rumah beliau
beristirahat dan menghitung uang hasilnya pagi ini.
"Dapat berapa,
bu?" Tanyaku
"Halah mbak,tak
seberapa, ya dapat Rp 200000 mbak orang tadi bawa uangnya cuma Rp 200000."
Jelas beliau.
"Untungnya,
bu?" tanyaku lagi
"Berapa sich mbak
yang penting bisa bawa lauk untuk dimakan, mbak. Paling maksimal juga dapat Rp
20000." Jelas beliau sambil mengurut kakinya.
"Untung mbak,
masih bisa kerja begini jadi masih bisa ikut arisan hehehehe." lanjut
beliau.
Dengan uang dua ratus ribu beliau mendapat untung dua puluh ribu tiap
harinya, dengan uang ini beliau bisa membantu suami dalam mencukupi kebutuhan keluarga.
Jika masa tanam telah berakhir maka sang suami menganggur dan hanya beliau yang
menjadi tulang punggung keluarga. Untuk bayaran sekolah anak-anakya, beliau
mengandalkan hasil panen,beliau tidak akan menjual hasil panen jika anak-anak
tidak meminta uang bayaran sekolah.
Sore harinya beliau masih harus menagih
kembali uang yang belum dibayar ke rumah-rumah orang yang telah membeli
dagangan beliau. Meski telah dikasih kelonggaran waktu dalam membayar belanjaan
sampai sore hari, tetap saja masih ada yang masih sembunyi apabila di tagih,
kasihan beliau hanya memperoleh uang sedikit. Alhasil keesokan harinya beliau
membawa uang kurang dari dua ratus ribu.
Begitulah keseharian yang digeluti oleh bu Muinah hingga kini. Di usianya
yang tidak lagi muda, beliau masih berjuang untuk membantu mencukupi kebutuhan
keluarganya. Dengan kerja kerasnya ini beserta sang suami telah mengantarkan
putrinya untuk mengenyam pendidikan. Dengan kehidupan yang sederhana mereka
telah mencetak generasi yang luar biasa pribadinya, semoga anak-anaknya kelak
akan mengantarkan kedua orang tuanya ke tempat yang lebih indah dan pensiun
dari kerja keras ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar