Rabu, 11 April 2012

"sebuah cerita"

Pernah mengikuti seminarnya di kampus, saat itu kepengen banget untuk ikut serta namun tak kesampaian hehehe. Indonesia Mengajar, itulah seminar yang aku ikuti. Indonesia Mengajar mengajak para generasi muda untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan yakni, mengajar selama setahun di pelosok negeri ini. Tak terjun langsung di TKP, namun membaca kisah para pengajar muda dalam buku yang berjudul “Indonesia Mengajar”, membuatku tahu tentang suka duka mengabdi disana, betapa sulitnya perjalanan menuju kesana karena sarana dan prasarana tersedia tak cukup baik. Fasilitas yang ada pun tak cukup untuk menunjang, dan banyak cerita lain yang seru-seru. Untuk lebih lengkapnya baca bukunya ya J. Berikut sebuah kisah yang aku ambil dari salah satu penulis “Indonesia Mengajar”….

MENGAJAR BUKAN MENGHAJAR
OLeh : Sabda Aji Pambayu
Hari ini awal saya menjalani hidup sebagai seorang Pengajar Muda di desa Bajo. Setibanya di desa Bajo, saya langsung mulai memperkenalkan diri sekaligus beradaptasi  dengan lingkungan masyarakat di sekitar rumah kepala desa tempat saya hidup selama satu tahun nantinya. Masyarakat  Indonesia Timur yang digambarkan oleh sebagian orang memiliki karakter keras dan susah menerima pendatang ternyata sangat berbeda dengan yang saya temui. Masyarakat Bajo merupakan masyarakat pesisir yang memiliki mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan. Mereka sangat ramah, peduli dengan sesama seperti pada umumnya masyarakat yang hidup di desa serta menghargai pendatang. Di desa Bajo, tidak hanya suku Bajo yang tinggal di sini. Selain penduduk yang berasal dari suku di sekitar  Bajo juga terdapat suku pendatang  seperti Makean, Galela Tobelo, Bugis, Makassar, Jawa, Mandar,  dan lain-lain.
Awal kegiatan saya di desa Bajo dimulai dengan mengunjungi beberapa rumah yang berada di sekitar rumah Pak Safi. Sore harinya saya menyempatkan diri menuju lapangan bola di depan SDN 1 Bajo untuk menonton pertandingan bola yang biasa diadakan pemuda desa setiap sore. Saya mulai memperkenalkan diri pada beberapa pemuda desa yang asyik menonton pertandingan bola sore itu.
Hari mulai senja dan matahari pun sayup-sayup terbenam  di ufuk barat. Saya pun segera menuju rumah Pak Safi dan mempersiapkan diri menuju masjid yang berada di tengah di desa Bajo. Sepanjang jalan menuju masjid yang berjarak sekitar satu kilometer, saya menyapa setiap orang yang saya temui baik itu anak kecil sampai orang tua yang ada di sepanjang jalan. Usai salat maghrib berjamaah saya diajak Pak Nurdin (sekretaris desa) untuk menghadiri undangan tahlilan di salah satu rumah warga Bajo. Saya bersyukur karena baru satu hari saya tinggal di desa Bajo, tetapi respons masyarakat sudah sangat baik.
Desa Bajo memiliki kondisi alam yang panas. Bajo memiliki geografis yang dikelilingi oleh laut. Bajo merupakan bagian dari kecamatan  Kepulauan Botanglomang, Halmahera Selatan. Sebagian besar penduduk Bajo mendirikan rumah diatas air laut di sepanjang pesisir pantai. Bajo hanya memiliki satu jalan utama yang membelah desa bagian laut dan darat. Menurut warga desa, masyarakat yang tinggal di darat dikarenakan mereka sudah kehabisan lahan pesisir unruk membangun rumah sehingga pindah ke daratan. Selain itu biasanya rumah yang dibangun di daratan merupakan rumah masyarakat pendatang. Masyarakat Bajo diberi anugerah kekayaan laut yang melimpah. Air laut yang jernih serta ikan-ikan hias yang berenang dii bawah lantai rumah merupakan hal yang biasa ditemukan di desa Bajo.
Sekolah menjadi tempat saya mengajar dan belajar. Hari-hari berlalu. Saya mulai mengenal lingkungan yang dulunya terasa asing. Murid-murid kelas 5 yang tidak berhenti  berkelahi, kelas 4 yang dianugerahi anak-anak yang cerdas, kelas 3 yang penuh dengan debu dan anak-anak dengan senyum indah mereka, kelas 2 dan kelas 1 yang tidak pernah berhenti  mengikuti ke mana pun saya mengajar.
Entah sudah menjadi budaya, ketika setiap anak-anak ini berbeda pikiran atau hanya karena bercanda selalu diakhiri dengan saling pukul atau baku pukul, istilah guru-guru di sini. Tetapi, memang ini tidak salah, menurutku karena setiap saat di belakang saya para guru sangat ringan tangan kepada siswa. Pernah saya  melihat ketika pulang sekolah bareng murid-murid kelas 5, mereka berjalan agak pincang. Ternyata setelah saya tanya satu persatu mereka barusan dipukul oleh kepala sekolah dengan menggunakan bambu kering hingga kulit kaki mereka memar biru. Sambil tersenyum mereka menceritakan semua yang mereka alami. Persoalan sepele, anak-anak yang tidak bisa diam. Haruskah bambu dan rotan menjadi alat agar para siswa diam? Perasaan tidak tenang selalu datang ketika saya tidak mengawasi kegiatan mengajar guru karena di tangan mereka tidak pernah lepas sebatang bambu atau rotan.
Saya teringat quote seorang Pengajar Muda, “kita bisa memaksa mereka masuk kelas dan diam, tetapi kita tidak pernah bisa memaksa mereka untuk paham apa yang kita ajari”. Sebuah harapan kecil selalu tertanam dalam hati, semoga pada akhir pengabdian saya di tanah Bajo ini guru-guru sudah tidak memukul siswa, dan anak-anak Torosubang bisa merasakan nyaman dan aman belajar di sekolah. Merasa aman dan nyaman akan membuat mereka percaya diri, tidak merasa bahwa sekolah adalah tempat mereka dipukul karena mereka tidak diam atau mereka ribut, merasa bahwa sekolah adalah tempat mereka mulai bermimpi menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Masih banyak cerita yang menggugah dalam buku “Indonesia Mengajar”, sok-lah membaca ya………….:). Salam semangat untuk semua…………….

3 komentar:

  1. jangankan di luar Jawa, di Jawa timur saja ada daerah yang melebih latar kisah laskar pelangi lho? dan itu era sekarang...

    BalasHapus
  2. neng cara bikin blo design sepertimu,,gimana caranya??

    BalasHapus
  3. sepertinya bukunya menarik dan mengharu-birukan ya? Luarbiasa buat para guru sukarelawan ...semoga semakin banyak pemuda Indonesia yang berwawasan nusantara.

    BalasHapus