Senin, 27 Januari 2014

Bu Muinah yang ku kenal


Empat puluh tujuh tahun silam, beliau lahir di muka bumi ini dan menjalani kehidupan yang keras ini. Beliau tidak terlahir di tengah-tengah keluarga yang kaya raya tapi beliau hadir di keluarga yang pas-pasan dalam mencukupi kebutuhan hidup. Bukan kota tapi desa, bukan keramik tapi tanah, bukan tembok tapi bilik bambu, itulah tempat tinggal beliau sejak dilahirkan. Beliau memiliki lima orang saudara tapi dua orang telah meninggal.
Sejak kecil, beliau telah diajarkan bagaimana caranya untuk bertahan dalam mengarungi kehidupan yang keras ini. Sejak anak-anak beliau sudah diajarkan untuk bekerja dengan ikut sang ibu dan bapak ke sawah sehingga ketika dewasa telah menjadi orang yang biasa akan hidup dengan bekerja keras. Sebelum menikah beliau pernah bekerja di Surabaya selama tiga tahun lamanya, pekerjaan yang digeluti adalah mengobras pakaian dengan upah Rp 15000/bulan, ditahun ke-tiga gaji beliau naik menjadi Rp 25000/bulan.
Setelah tiga tahun bekerja beliau harus pulang karena menikah dengan pemuda desa. Setelah menikah hingga saat ini beliau memutuskan untuk bekerja sebagai pedagang sayur keliling dari desa satu ke desa  lainnya. Sang suami bekerja sebagai petani, menggarap sawah sendiri dan sebagai buruh tani. Beliau bekerja sebagai pedagang sayur keliling untuk membantu perekonomian keluarga lumayan hasilnya bisa untuk makan sehari-hari.
Ketika adzan subuh berkumandang, beliau bangun dan mandi tanpa menghiraukan dingin yang begitu menggigit, bersiap-siap untuk ke pasar. Sebelum ke pasar beliau memasak untuk sang suami karena suaminya juga akan ke sawah di pagi hari. Setelah makanan sudah tersaji beliau sia-siap untuk berangkat ke pasar. Mengecek sepeda tuanya, apa kurang angin atau tidak, memasang bakul di bagian belakang sepeda sebagai tempat sayuran yang dibelinya di pasar. Hari masih gelap beliau mengayuh sepeda tuanya menuju pasar, sepeda yang dinaiki bukanlah sepeda yang layak pakai karena tidak ada rem yang pakem terpasang, sebagai gantinya sandal bekas yang ditaruh di bagian depan ban belakang ban sepeda, beliau akan menginjaknya ketika akan me-ngerem, syerem dech membayangkannya.


Setelah sampai di pasar beliau akan segera memenuhi bakul besarnya dengan sayur, lauk pauk, bumbu, buah, dan jajanan pasar. Dengan berbekal uang Rp 200000 beliau membelanjakan semuanya. Setelah penuh bakulnya beliau akan mengayuh sepedanya kembali, kali ini bebannya berat karena ditambah dengan barang jualan tapi beliau tidak mengeluh tanpa memedulikan matahari yang memanggang tubuhnya. Beliau berhenti di setiap rumah yang sudah menjadi langganannya. Jika keberuntungan berpihak pada beliau maka beliau akan pulang cepat tidak perlu jauh-jauh untuk menjajakan barang dagangannya tapi kalau lagi sepi beliau akan berkeliling kembali untuk menjajakannya, kadang-kadang barangya masih dan dibawa pulang untuk dimasak sendiri atau dijajakan keesokan harinya.
Sekitar pukul 09:00 beliau tiba di rumah, sesampai di rumah beliau beristirahat dan menghitung uang hasilnya pagi ini.
                "Dapat berapa, bu?" Tanyaku
                "Halah mbak,tak seberapa, ya dapat Rp 200000 mbak orang tadi bawa uangnya cuma Rp 200000." Jelas beliau.
                "Untungnya, bu?" tanyaku lagi
                "Berapa sich mbak yang penting bisa bawa lauk untuk dimakan, mbak. Paling maksimal juga dapat Rp 20000." Jelas beliau sambil mengurut kakinya.
                "Untung mbak, masih bisa kerja begini jadi masih bisa ikut arisan hehehehe." lanjut beliau.
Dengan uang dua ratus ribu beliau mendapat untung dua puluh ribu tiap harinya, dengan uang ini beliau bisa membantu suami dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Jika masa tanam telah berakhir maka sang suami menganggur dan hanya beliau yang menjadi tulang punggung keluarga. Untuk bayaran sekolah anak-anakya, beliau mengandalkan hasil panen,beliau tidak akan menjual hasil panen jika anak-anak tidak meminta uang bayaran sekolah.
Sore harinya beliau masih harus menagih kembali uang yang belum dibayar ke rumah-rumah orang yang telah membeli dagangan beliau. Meski telah dikasih kelonggaran waktu dalam membayar belanjaan sampai sore hari, tetap saja masih ada yang masih sembunyi apabila di tagih, kasihan beliau hanya memperoleh uang sedikit. Alhasil keesokan harinya beliau membawa uang kurang dari dua ratus ribu.

Begitulah keseharian yang digeluti oleh bu Muinah hingga kini. Di usianya yang tidak lagi muda, beliau masih berjuang untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya. Dengan kerja kerasnya ini beserta sang suami telah mengantarkan putrinya untuk mengenyam pendidikan. Dengan kehidupan yang sederhana mereka telah mencetak generasi yang luar biasa pribadinya, semoga anak-anaknya kelak akan mengantarkan kedua orang tuanya ke tempat yang lebih indah dan pensiun dari kerja keras ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar