Senin, 24 Februari 2014

Kiriman dari Kelud



“wih, hujan deras rek?” kata mbakku saat dia terbangun.
Sekitar pukul 23:30 dia terjaga dikarenakan suara petir yang bersahut-sahutan dan panggilan alam. Dia pergi ke kamar mandi setelah itu dia balik ke tempat tidur. Tapi dia merasakan keanehan karena suara hujan tidak seperti biasanya.
“Hujannya kok aneh, yo? Biasanya nggak seperti ini,” dia bergumam sendiri.
Mendengar ocehannya seperti itu aku merasa terganggu,
“Aneh gimana sih? Hujan ya seperti ini,” jawabku agak emosi.
Setelah menjawab seperti itu aku juga merasa ada yang aneh karena ada suara anak-anak yang berisik berasal dari tetangga sebelah dan depan. Pikiranku pun mulai melayang kemana-mana. Jadi parno.
“Kok ada suara anak-anak ya mbak!” mbak tidak merespon kata-kataku tadi.
Karena tidak ada respon aku semakin dag dig dug, aku pikir yang mendengar cuma aku saja. Wih semakin tidak keruan. Setelah itu mbak melihat ke jendela.
“Lho, Bu Isa mau mudik mungkin, kok sudah masuk-masukin barang ke bagasi,”katanya.
“Besok lho baru Jum’at, masak mudik, Indah masih sekolah dan Pak isa masih kerja juga,” Jawabku.
Di tengah-tengah adu argument tebak-tebakkan tiba-tiba HP mbak berdering.
“Siapa sms malam-malam,”kata mbakku.
“Gunung meletus, nduk!” kata mbak setengah berteriak.
Dengan santai aku menanggapinya, “ya sudah mau diapakan, toh tidak ada berita kita diharuskan mengungsi.
Depan rumah semakin gaduh karena Bu Isa dan anaknya beserta suami berjalan-jalan di bawah hujan sambil membawa payung. Mbakku langsung keluar dan aku pun ikut membuntutinya ternyata hujan kerikil dan pasir.
“Waduh bu, saya takut. Sejak pukul 21:00 kami masih duduk di depan dan melihat warna merah menyala diatas langit, setelah itu bunyi duoooor,” jelas Bu Isa.
“Jam berapa bu hujan pasirnya?” tanyaku pada Bu Isa.
“Pukul 23:45, mbak,” jawab Bu Isa.
Tidak berapa lama kemudian saudara yang ada di Janti menjemput untuk mengungsi ke tempat anaknya yang lebih jauh dari gunung, tapi aku dan mbak memutuskan di rumah saja karena merasa jauh dari TKP. Kami berada di Perumahan Pesantren radius kurang lebih 30km dari TKP. Warga disini tidak ada yang mengungsi, bahkan banyak yang masih terlelap atau memang sengaja diam di dalam rumah meski sudah tahu kalau hujan pasir. Di gang kami yang kelihatan keluar hanya sekitar 3 orang itupun hanya menutupi kaca mobil yang terparkir di luar garasi.

kondisi mobil perjalanan dari surabaya-kediri

Baru kali ini merasakan hujan kerikil dan pasir akibat erupsi gunung. Sungguh dahsyatnya suara petir yang bersahut-sahutan, membuat orang takut. Kakak ipar yang melakukan perjalanan dari Surabaya sekitar pukul 02:00 dini hari pun merasakan hujan abu di daerah mojokerto, dari sini mobil tidak bisa berjalan dengan kecepatan normal karena pandangan kabur akibat hujan debu, sampai dirumah pukul 05:00 disaat kami semua terlelap maklum kami baru tidur sejaman.
Malam kejadian itu kami tidur di ruang tengah dikarenakan tv kamar mati. Beruntung kami tidur di ruang tengah, dengan begitu kami tidak terlalu lelap sehingga dengan mudah terbangun saat mendengar suara gaduh di luar.
Sebelum Gunung Kelud ini meletus, kota Kediri selama 3 hari panas sekali, setelah panas itu pada hari kamis siang kota Kediri diguyur hujan sangat deras sekali, dan malamnya kota Kediri diguyur hujan pasir.

kondisi atap rumah setelah diguyur hujan pasir


Pagi hari kami keluar rumah melihat kondisi perumahan. Atap-atap rumah dipenuhi dengan pasir-pasir, depan rumah banyak gundukan-gundukan pasir, dan banyak kanopi yang melengkung tidak kuat menahan beban pasir yang berat, jika tidak cepat dibersihkan maka akan ambruk.


kondisi jalan di perum pesantren

“Gimana, Bu Sita tadi malam? Kok tidak keluar?” tanya mbak pada tetangga yang tinggal sendirian.
Wis, bu aku sengedan nak ngisore bayang! Kata bu sita
“Ini dulu sudah pernah meletus lho bu, tahun 1990, 2007 dan sekarang. Tahun 1990 itu saat saya melahirkan dan tidak mendapatkan bidan sehingga anak saya tidak tertolong,” kenang Bu Sita.
“Tadi malam ada Pak Bambang yang ngetuk pintu, bu, ngajak saya untuk menginap dirumahnya tapi saya tidak mau,” tambah bu sita.
Jalan seluruh perumahan ini penuh dengan pasir. Tidak ada aktivitas dari warga, semuanya diam dirumah. Sekitar pukul 07:00 mbak dan kakak ipar keluar rumah untuk mencari makanan maklum kami tidak ada stok makanan.  Selepas di tinggal aku hanya di rumah bersama dua keponakan yang masih kecil, di dalam rumah saja dan tidak berani keluar karena asap dari debu sangat menyiksa, mengharuskan kami di dalam rumah memakai masker. Di tambah warga yang mulai membersihkan pasir dari talang-talang dan depan rumah. Warga masih belum begitu total membersihkan, hanya bagian-bagian penting terlebih dahulu yang dibersihkan, bagian yang sekiranya sudah tidak kuat untuk menahan beban tumpukan pasir dan saluran air karena ada berita yang mengabarkan bahwa gunung akan erupsi lagi.
“Walah nduk kalau jalan harus pelan-pelan, motor saja banyak yang selip terus banyak kanopi yang ambruk. Warung-warung depan pada ambruk dan tidak ada yang buka. Aku tadi sampai kota tidak ada yang buka, untungnya Bu Yati tetep buka,” cerita mbakku begitu sampai rumah.
Aktivitas kota Kediri jadi amburadul, sekolah-sekolah libur mendadak, kantor-kantor juga libur tapi pegawai negeri kota Kediri tidak libur, mbakku jadi kebingungan di buatnya, masuk atau meliburkan diri. Dan akhirnya dia memilih untuk meliburkan diri dengan pertimbangan kondisi jalan yan penuh dengan pasir. Sedangkan anak-anak sekolah libur.
Asap dari debu erupsi gunung kelud ini sangat menyiksa, mengharuskan untuk memakai masker dan kacamata. Mata menjadi perih, tenggorokan seperti radang dan badan meriang.
Di hari pertama ini kami hanya membersihkan pasir yang menyumbat jalannya air sedangkan atap masih belum dibersihkan. Sekitar pukul 11:00 gerimis sebentar lalu reda. Mencari orang untuk membantu membersihkan rumah sangatlah sulit karena orang juga membersihkan rumahnya masing-masing, sampai-sampai kakak ipar mencari orang dari Surabaya.
Hari kedua aktivitas warga untuk bersih-bersih mulai terlihat, anggota keluarga saling bergotong royong untuk membersihkan rumah masing-masing, tapi masih ada juga rumah yang belum dibersihkan dikarenakan menunggu bala bantuan. Seperti kami yang menunggu bala bantuan dari Surabaya, begitu bala bantuan datang (saudara dari kakak ipar dari Surabaya) semuanya langsung bersih-bersih, naik kea tap rumah untuk membersihkan pasir. Sekitar pukul 12:00 aktivitas bersih-bersih sudah berhenti, setelah itu saudara pulang. Tidak selang berapa lama kemudian, hujan deras mulai mengguyur kota Kediri. Atap rumah banyak yang bocor, setiap pojokan rumah bocor dan dari atas tangga mengalir banyak air. Wah kami panik dibuatnya, karena bala bantuan sudah pulang, baru dibersihkan langsung bocor lagi. Kebocoran dikarenakan pasir banyak yang masuk pada saluran air sehingga mampet, jadinya di tengah hujan deras kami bergotong royong untuk memindahkan barang-barang ke tempat yang aman.
Hujan semakin deras, banyak warga yang semakin lalu lalang di jalan, ternyata hampir semua rumah di perumahan ini terjadi kebocoran bahkan banyak pasir yang masuk ke dalam rumah. Tetangga depan rumah malah atap dapurnya ambruk. Tetangga sebelah malah rumahnya tidak keruan seperti kapal pecah, banjir. Beruntung rumah kami tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh tetangga kami, karena kami sudah membersihkan sebelumnya meskipun bocor juga.

kondisi jalan depan sri ratu


Pasca hujan reda aku dan saudara ingin membeli makanan kali aja ada yang sudah buka. Ih, ngeri banget naik motornya musti pelan-pelan banget. Jalan-jalan protokol pun masih utuh pasirnya, sampai kota pun sama keadaannya. Yang sudah cukup bersih adalah jalanan menuju Gudang Garam, aktivitas gudang garam masih terus berjalan oleh sebab itu jalan yang menuju gudang garam dibersihkan, seluruh para pekerja dikerahkan membersihkan area sekitar Gudang Garam. Di sepanjang jalanan Gudang Garam, aktivitas para penjual sudah terlihat, pedagang buah sudah banyak yang buka tetapi tidak ada pedagang makanan, pasar Gudang Garam juga sudah buka meski hanya beberapa yang buka, itupun yang kering-kering saja, pedagang ikan, tempe dan tahu tidak ditemukan.Di hari kedua sudah banyak toko yang buka, Alhamdulillah kami masih bisa mendapatkan makanan meski itu makanan instant maklum pasar belum ada yang buka.


kondisi jalan protokol

Erupsi gunung kelud Kediri melumpuhkan aktivitas warga Kediri, tidak hanya Kediri tapi jawa tengah pun terkena imbasnya bahkan kondisinya juga hampir sama dengan kota Kediri. Jawa barat pun merasakannya.
Bencana demi bencana menghinggapi negeri tercinta kita ini. Semua ini menjadi bahan untuk interospeksi diri, agar kita semakin mengingat dan mendekat kepada Tuhan. Semoga bencana yang datang bertubi-tubi ini semakin meningkatkatkan kesadaran kita bahwa betapa kekuasaan yang kita miliki tidak ada seujung kuku dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan. Marilah sama-sama untuk introspeksi diri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar