Selasa, 25 Februari 2014

Tidak tahu harus kasih judul apa



Siapa yang tidak kenal dengan pengacara handal Trihardiningrat. Pengacara kondang di kalangan pejabat-pejabat pemerintahan dan para politisi. Banyak kasus-kasus ruwet telah dimenangkannya. Pengacara yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur ini merupakan salah satu pengacara yang luar biasa terkenal namanya dari sekian banyaknya pengacara yang ada di Jawa Timur. Sikapnya yang dingin semakin membuat sangar penampilannya dalam menangani kasus-kasusnya.
                “Pi, bagi duitnya dong!” todong Bimbim di depan pintu.
Belum juga menyandarkan punggungnya di sofa ruang tamu, Bimbim anak sulung Pak Tri sudah membuka tangannya minta duit seperti anak kecil minta uang jajan. Padahal bimo bukanlah remaja yang masih pantas menodongkan tangan kepada orang tuanya untuk minta uang, harusnya dialah yang membagi duit hasil kerja untuk orang tuanya. Bimo sudah menikah namun dia masih belum bekerja hingga usia pernikahannya hampir 5 tahun, apalagi dia sudah memiliki seorang putra. Sudah waktunya dia menafkahi keluarga kecilnya sendiri.
Tanpa berkata, Pak Tri membuka dompetnya dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu dan segera mengangsurkannya pada anak sulungnya itu. Itulah pak Tri orangnya sangat dingin tanpa kata.

                “Mas, si Reza sudah habis susunya. Bagi duit dong!” kata Zi kepada suaminya
“Minta sama Mami sana, uangku sudah habis, sekalian minta yang banyak nanti bagi                                       denganku!” kata Bimbim dengan entengnya.
“Lagi-lagi minta Mami, sampai kapan akan hidup seperti ini!” teriak si Zi pada suaminya.
“Bukannya sejak awal kita telah hidup seperti ini. Aku tidak memiliki pekerjaan yang tetap, kalau ada job dengan teman-teman ya dapat duit kalau tidak ya tidak dapat. Lagipula orang tuaku tidak mempermasalahkannya.” Kata Bimbim tak kalah kerasnya.
“Kenapa baru sekarang mempermasalahkannya, kalau tidak suka pergi saja.” Kata Bimbim sambil lalu meninggalkan istrinya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Zizi pun mengambil keputusan untuk sementara waktu akan meninggalkan rumah dan mencari kesibukan di Jakarta, pulang ke kotanya. Dia meninggalkan anak di rumah sang mertua.
                “Mi, aku titip Reza dulu untuk beberapa hari,” ujar Zizi pada mertuanya.
                “Lha, kamu mau kemana? Kok lama?” tanya sang mertua.
                “Jakarta, ma. Ada kontes memasak yang aku ikuti.” Jelas Zizi pada mertuanya.
Setelah itu tidak ada kata-kata lagi. Zizi pergi meninggalkan anak dan suaminya dalam waktu entah berapa lama. Sampai kontes  memasak selesai.           
                “Mau kemana mbak Zizi, kok Reza ditinggal disini, mi?” tanya Izi pada mamanya.
Pertanyaan Izi membuyarkan lamunan maminya.
                “Oh, itu  Zizi mau ke Jakarta.” jawab sang mami pendek.
                “Pulang? Kenapa tidak sama mas bimbim? Reza ditinggal lagi,” selidik Izi.
“Dia ikut kontes memasak itu lho, sekarang waktunya kontes di Jakarta. Tidak tahu masuk        tahapan apa dia itu!” jelas bu Tri pada putri bungsunya.             
“Oalah itu tho. Ternyata masih berlanjut, kirain sudah selesai. Lha mas bimbim sudah diberi tahu apa belum?” tanya Izi.                                                           
“Enggak tahulah, zi. Mami pusing mau istirahat dulu, titip Reza ya?” kata mami.
“Lha piye tho, mi. Izi kan mau ke salon beli wig, wignya Izi sudah ketinggalan model mi. Bagi duit dong, mi,” kata Izi.
Dengan langkah gontai sang mami melangkah ke kamar, merebahkan badan sejenak untuk menghilangkan sakit kepala yang tiba-tiba mendatanginya akibat memikirkan masa depan anak-anaknya.
Izi adalah anak bungsu, dia mengalami kelainan sejak kecilnya. Rambut tidak bisa tumbuh menghiasi kepalanya, tentu sebagai seorang perempuan rambut adalah mahkota, wajar jika dia menutupi kekurangannya tersebut dengan memakai wig sebagai ganti rambut yang tidak bisa ia miliki.
Sang mami selalu memikirkan jodoh untuknya, siapakah gerangan laki-laki yang dengan tulus ikhlas mau menerima kekurangannya tersebut. Setiap ada laki-laki yang mendatanginya selalu gagal di tengah jalan padahal Izi telah mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk itu semua.
Sedikit kegalauan sang mami sedikit berkurang sejak 3 bulan terakhir ini karena si bungsu ini kelihatannya sudah menemukan tambatan hatinya, sesosok pria yang hadir dalam hidupnya. Dan dalam jangka waktu 3 bulan tersebut mereka telah sepakat untuk menikah. Inilah hal yang ditunggu-tunggu oleh Izi dan orang tuanya, paling tidak hal ini sedikit mengurangi beban pikiran tentang si Bimbim dan anak lainnya.
Di tengah-tengah kesibukan mempersiapkan pernikahan sang putri dan kegembiraan, menyeruak suatu hal yang bernama kerinduan. Rindu pada anak kedua yang sedang menuntut ilmu di bumi Eropa. Diantara ketiga anak yang dimilikinya, paling tidak, anak kedua ini memberikan rasa bangga tersendiri bagi Pak Tri dan Bu Tri. Ozy, anak kedua yang mandiri, dia bekerja sebagai waiters di salah satu rumah makan di sana, sebagian uangnya dia kirimkan pada orang tuanya. Saat itulah Bu Tri meneteskan airmata keharuan yang luar biasa, ternyata ada anak yang memberikan rasa bangga untuknya.
Mi kukirimkan uang ini untuk mami, uang ini merupakan hasil kerja saya selama ini di bum Eropa inii.
Ternyata mencari uang itu tidak semudah apa yang saya bayangkan dulu, sungguh sangat sulit sekali dan sekarang saya memahami itu semua. Terimalah uang yang tidak seberapa ini, insyaallah saya disini bisa mencukupi kebutuhan dengan pekerjaan saya saat ini.
Kecup saying anakmu

Pernikahan yang megah ini, Izi memilih untuk tidak menghadirinya, dia lebih memilih kontes memasak yang diikutinya, padahal segalanya telah dipersiapkan untuk dirinya. Entahlah, sampai kapan dirinya itu akan tetap bergelut dengan dunia kontes memasak yang diikutinya. Kontes ini masih sangat panjang perjalanannya, ini juga masih tahapan seleksi yang berpusat di Jakarta belum lagi jika dia nanti masuk menjadi 12 besar pasti dia akan lebih lama lagi untuk stay di Jakarta, dan yang paling dikhawatirkan adalah karantina. Adanya karantina ini semakin sulit untuk akses dengan keluarga.
Meski tanpa kehadiran Zizi di tengah-tengah acara resepsi pernikahan ini toh acaranya tetap berlangsung dengan meriah dan megah. Semua orang telah tenggelam dalam pesta yang menghabiskan dana ratusan juta ini. Ucapan-ucapan selamat banyak tertulis di karangan bunga yang berbaris rapi di jalan sepanjang pintu masuk gedung acara resepsi pernikan ini. Dan yang menjadi pemandangan luar biasa adalah para tamu, banyak dari kalangan pejabat pemerintahan, pengusaha, politisi, dan para artis, tentu mereka semua adalah para koleganya, orang-orang yang telah ia sukseskan kasusnya di pengadilan. Anak kedua mereka tidak datang dengan alasan study tidak bisa ditinggalkan dan jarak yang begitu membentang jauh.
                “Zi, maaf ya aku tidak bisa datang. Studyku tidak bisa ditinggalkan,” kata Ozy pada adiknya via telepon.
                “lha, mas. Tidak hadir gimana tho, acara bahagiaku kok tidak hadir,”balas Izi.
                “Meski aku tidak hadir do’aku akan tetap mengiringimu,” Jawab Ozy.
                “Ealah mas, pesen tiket kan gampang entar tinggal minta kirimi uang papi,”kata Izi.
                “Bukan itu masalahnya, Zi, tapi karena kuliah dan kerjaan yang tidak bisa ditinggal. Insyaallah uangku juga cukup untuk membeli tiket pulang.” Jelas Ozy.
                “Ya wislah mas, kalau begitu,”kata Izi sewot.
                “Semoga barokah ya pernikahanmu, langgeng sampai tua hehehe,” kata Ozy diakhir percakapan mereka.
Mungkin sejak kecil mereka semua telah terbiasa tanpa orang tua. Tidak ada sesosok ayah yang menemaninya bermain dan tidak ada sesosok ibu yang mendampingi hari-harinya. Semuanya sibuk mencari uang, dengan alasan semua itu untuk mereka, kebahagiaan mereka. Padahal intinya bukan itu, mereka membutuhkan kehadiran ayah dan ibu mereka, membantu mengerjakan PR dan menemaninya bermain serta menjadi teman yang perhatian bagi mereka.

Zizi ternyata menemui kegagalan dalam melangkah tahap selanjutnya namun dia telah memutuskan untuk tetap tinggal di kota tercintanya. Tetap tinggal di Jakarta. Entahlah apa yang telah membuat dia berpikir demikian, apa dia sudah merasa bosan dengan kehidupan rumah tangga yang telah dilaluinya bersama anak sang pengacara kondang? Apapun alasannya untuk saat ini dia belum mau melangkahkan kakinya menuju Surabaya.
Sedangkan sang suami tidak pernah mempermasalahkannya, tidak menghubunginya bahkan hanya lewat pesan pun tidak. Sang suami ternyata asyik dengan dunianya sendiri, mungkin itu adalah salah satu sebab ia masih bertahan di Jakarta. Zizi sekarang punya kesibukan yang lain, dia membuka usaha pesan kue, dia memasarkan kue-kuenya pada tetangga dan teman sekitar, lumayan sekarang dia ada kesibukan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.
                “Zi, kapan balik ke Surabaya? Kamu sudah lama tinggal di Jakarta, meninggalkan anak dan suamimu. Tidak baik lama-lama meninggalkan keluarga lho,” tegur sang Ibu tiba-tiba.
                “Entahlah, bu. Saya masih ingin berada dekat ibu,” jawab Zizi.
                “Tentu bukan itu alasanmu untuk berlama-lama tinggal di Jakarta dengan statusmu yang sudah jadi seorang istri dan ibu,” lanjut Ibu.
                “Bu, izi ini masih bingung dengan keputusan Izi . Biarkanlah Zizi berpikir masak-masak dalam mengambil keputusan. Biarkan zizi tinggal disini untuk sementara waktu.” Jelas Zizi.
                “Ya sudah kalau itu maumu, tapi ibu sarankan kamu harus segera pulang menemui suamimu dan segera selesaikan bagaimana baiknya. Jangan sampai mertuamu berpikiran macam-macam, ibu hanya memberikan saran, kamulah yang membuat keputusan karena kamu sudah dewasa, sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk untukmu.” Sang ibu bangkit meninggalkan Zizi yang sedang duduk termenung sendiri.Kata-kata sang ibu barusan benar-benar menbuat Zizi berpikir keras dalam mengambil keputusan.
Seperti biasanya, apapun yang dilakukannya dia selalu diam. Dan kali ini pun dia telah mantap dengan keputusan yang telah dibuatnya, entahlah keputusan apa yang dibuatnya tidak ada yang tahu, dia menyimpan semuanya dalam pikirannya sendiri begitu pun dengan beban yang sedang dialaminya dia simpan rapat di dalam hatinya. Cukup hanya dia seorang yang tahu bahkan sang ibu dilarang keras untuk mengetahuinya.

Setelah menikah Izi dan suami tetap tinggal di rumah megah sang mertua. Mereka memang telah sepakat bahwasannya Izi-lah yang akan menjadi teman orang tuanya oleh sebab itu mereka tetap tinggal disana. Hari demi hari mereka lewati bersama, sang suami tetap dirumah sedangkan Izi kerja di kantor ayahnya. Izi dan orang tua pun tidak pernah mempermasalahkan hal itu namun ada yang salah kelihatannya, bimbim sering uring-uringan.

Pagi itu Zizi telah melangkahkan kakinya menuju Surabaya, dan ternyata dia tidak menemui suami dan anaknya dirumah. Seketika itu dia tahu kemana dia akan mencari mereka, di rumah mertua. Tidak ada yang menyangka kalau pagi itu merupakan titik awal dari kegaduhan yang akan muncul dirumah megah itu.
Tanpa mengetuk pintu dia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, ternyata dia mendapati anak dan suaminya disana. Semua penghuni masih sibuk dengan piring dan sendok.
                “Pagi semua,” Kata Zizi membuyarkan kesenyapan di rumah itu.
                “Oalah nduk, sudah pulang. Ayo bergabung makan, nduk,” kata sang mertua.
                “Tidak mi, saya lagi malas sarapan. Silahkan diteruskan, saya mau istirahat capek di perjalanan,” Jelas Zizi sambil melangkah santai ke kamar tamu.
                “Sudah kalah pulang, coba kalau tidak kalah pasti tidak akan pulang. Kalau susah baru ingat sini. Istri macam apa dia itu meninggalkan anak dan suami,” Celoteh Izi.
                “Sudah, di meja makan jangan bicara,” Jawab Pak Tri singkat lalu melangkah pergi.
Bu Tri membuntuti suami tanpa ada pembicaraan yang terjadi.

                “Aku mau ngomong mas?” kata Izi.
                “Ngomong saja biasanya juga tanpa izin,” Kata bimbim dengan santai.
                “Mas kalau seperti ini terus lebih baik kita berpisah. Aku tidak saanggup kalau harus meminta orang tua terus tanpa ada usaha,” Kata Zizi membuka percakapannya.
                “Oh, jadi kamu punya malu, bukannya selama 5 tahun kita menikah kita hidup dengan cara seperti ini, meminta uang kepada orang tuaku? Lalu kenapa baru sekarang kamu mempermasalahkannya? Mentang-mentang kamu sudah bisa cari uang sendiri, iya?” kata Bimbim dengan keras.
                “Selama ini mungkin rasa Maluku, aku simpan dalam-dalam. Dan aku berharap jika suatu hari nanti akan ada perubahan dan sampai hari ini masih belum juga ada perubahan. Jadi aku putuskan kalau kita lebih baik berpisah saja,” jelas Zizi.
                “oh, yo wis lek ngono, muleh o saiki,” Usir Bimbim.
Tanpa ba bi bu Zizi meninggalkan rumah itu tanpa anaknya. Dia meninggalkan anak pada suaminya. Dia telah yakin pada keputusannya, dan dia tidak akan menyesal dengan keputusannya saat ini. Kini, dia akan kembali ke habitatnya dulu. Menanggalkan gelar menantu seorang pengacara kondang.

Setahun lebih telah berlalu sejak pernikan Izi berlangsung. Dia telah memiliki seorang putri dan kehidupannya tetap sama, suami pengangguran dan dia bekerja di kantor papinya.
Sedangkan Bimbim dia tetap hidup seperti itu pengangguran bersama seorang anak dan tanpa istri. Sampai saat ini belum jelas status dari mereka berdua, setahun telah berpisah namun surat cerai belum ditangan masing-masing. Anak diasuh oleh nenek dan kakeknya.
Ozy, asyik dengan dunianya sendiri di belahan bumi Eropa, dia sama sekali tidak pernah pulang. Tapi dia senantiasa mengirimkan uang untuk kedua orang tuanya. Sedangkan Zizi telah menggeluti usaha barunya yaitu membuat kue. Semuanya saling diam, tiada yang saling mengingatkan satu sama lain atas tindakan yang telah dilakukannya. Begitu pula dengan orang tua, merekapun hanya diam tanpa kata. Dan dengan diamnya masing-masing memicu peperangan yang disebut dengan perang dingin.
                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar