Menjalani kehidupan di negeri orang sungguh memberikan sensasi tersendiri.
Berikut ini adalah salah satu cerita pengalaman seorang mahasiswi yang
menjalani kehidupannya di benua Eropa. Kisah ini saya ambil dari buku yang
berjudul “Berjalan di Atas Cahaya” yang ditulis oleh Hanum Salsabiela Rais dan
kawan-kawan.
Istanbul Turki, Februari 2012
Berkelana hingga ke negera lain merupakan impian dan dambaan
banyak orang. Apalagi Eropa. Melihat indahnya alam, merasakan semua peradaban
dan perkembangan negara-negara maju, mempelajari tata bahasa dan sistem
komunikasi baru, mengenal adat dan tradisi yang berbeda.
Ini adalah sebuah
penggal cerita yang biasa. Sama sekali tidak extravaganza. Ribuan orang pernah mengalaminya. Ribuan orang pula
mengalami kegagalan, namun juga mengunduh kesuksesan. Ini adalah cerita saya
dan ribuan orang yang akan datang, yang bercita-cita pergi jauh namun bertekad
untuk kembali.
Langkah kaki saya
berawal dari tawaran beasiswa organisasi Turki yang merambat melalui Sekolah
Turki di Aceh, yaitu Fatih Bilingual School. Setelah melalui beberapa proses,
akhirnya saya dan 5 perempuan lain, juga 8 putra Aceh, dinyatakan lulus
mendapatkan beasiswa. Kami pun diberangkatkan ke Istanbul, Turki. Perjalanan
ini menuai berbagai cerita, rasa, dan pengalaman baru dari pengharapan besar
menggapai mimpi di negara lain. Inilah perjalanan pertama saya ke negeri orang.
Dan sekonyong-konyongnya, negeri itu adalah Turki!
Isak tangis
keluarga pecah pada senin, 30 januari 2012. Di Bandara Sultan Iskandar Muda
Blang Bintang, Aceh Besar, mereka harus melepas saya, si putri sulung. Pagi
itu, buliran air mata mengalir seakan membanjiri tiap jengkal lantai terminal
keberangkatan bandara. Saya tak bisa melupakan hari yang menjadi awal babak
baru dalam kehidupan saya itu. Hari ini
aku akan meninggalkan tempat yang menjadi pijakanku selama ini, saya
membatin. Aceh, aku ‘kan meninggalkanmu.
Saya seperti
berada di ruang hampa udara. Semua harapan menggumpal layaknya awan besar
berlapis. Seperti manusia yang mengharapkan hujan turun, kini harapan saya
bagai awan pekat yang mengantung di hamparan padang pasir kering kerontang.
Begitu juga semua yang mengantar saya siang itu. Mereka menggantungkan harapan
besar akan keberhasilan saya merantau ke negara yang pernah hinggap di dalam
mimpi. Negeri para sufi bernama Turki. Apalagi orang tua telah mengorbankan
banyak hal. Kini, mereka harus rela melepas saya pergi. Seluruh ritual adat
telah saya tunaikan sebelum meninggalkan tanah leluhur. Berziarah ke makam keluarga,
menjalankan prosesi adat peusijuk,
semua menjadi simbol ketulusan mereka melepas saya. Agar saya tenang memulai
kehidupan baru di negeri orang.
Bulir air mata
terus mengalir ketika saya menyalami dan memeluk satu per satu kerabat dan
sahabat sebelum melangkah masuk ke ruang tunggu pesawat. Saya akan diterbangkan
ke Jakarta terlebih dulu, sebelum benar-benar meninggalkan negeri ini.
Ya Tuhan, hamba tidak ingin melepas pelukan
ini, begitu juga dengan genggaman tangan sahabat, Ayah, Bunda, dan adik-adik.
Hamba pasti akan sangat merindukan mereka, gumam saya dalam hati.
Ada do’a tulus yang mengalir dalam sukma.
Semoga semua yang harus saya tinggalkan saat itu dipertemukan kembali dalam
situasi yang lebih indah nantinya. Saya dan teman-teman selalu merindukan tanah
air.
Jarum jam
menunjukkan pukul 12:00 WIB. Ini adalah waktu lepas landas pesawat yang akan
membawa saya. Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda menjadi saksi bisu
hari itu. Ketika roda pacu berpisah dengan landasan, babak baru dalam kehidupan
akan segera dimulai.
Saya harus bisa
mengemban amanah besar yang mereka berikan. Do’a dan harapan mereka tersimpan
di lubuk terdalam hati dan dasar jiwa dan menjadi kekuatan utama saya.
Bayangan
perpisahan terakhir masih hinggap di memori, meski bumi Serambi Mekah telah
hilang dari pandangan. Mata saya sembap. Seakan tak ingin terus larut, saya
mencoba menenangkan diri sambil memandangi panorama dari balik kaca jendela
pesawat. Saya harus kuat. Toh kepergian ini bukan tanpa alasan.
Menempuh rute
perjalanan udara selama 3 jam, pesawat mendarat di Jakarta. Ini kali pertama
saya menginjakkan kaki di Bandara Soekarna-Hatta. Saya belum terbiasa dengan
beberapa tetek-bengek penerbangan. Ya, saya ini orang desa yang sangat beruntung.
Keberuntungan yang kemudian berlanjut. Rombongan kami ditemani petugas dari
sekolah Charisma asal Turki. Dia adalah Yunisha Abla. Kami menunggunya hingga
menjelang Maghrib, di bandara yang padat dan penat itu. Dia akan membantu kami
mengurus urusan perjalanan. Saya selalu yakin bahwa dalam setiap perjalanan,
jika kita terlalu takut tetapi kita juga selalu berdo’a, semuanya akan
baik-baik saja. Perjalanan pertama yang terbesar dalam hidup ini rasanya
menjadi perjalanan termudah berkat orang-orang yang sama sekali belum saya
kenal sebelumnya.
***
Hidup adalah
pembelajaran yang tiada henti hingga napas terhenti. Perjuangan yang tiada
habisnya. Perlombaan sudah dimulai dari alam kandungan ketika benih-benih
kehidupan berjuang menembus sel telur hingga keluar satu diantara ribuan
sebagai pemenang pertama. Setiap orang dilahirkan untuk menjadi istimewa.
Karena itu, saya tidak akan melewatkan setiap detik dengan percuma. Berlari,
jatuh, dan bangkit adalah alur dari kehidupan.
Sangat berat
melepaskan keluarga tercinta, sahabat-sahabat, dan semua rutinitas.
Meninggalkan zona nyaman dalam hidup adalah perjuangan yang saya anggap berat,
walaupun semua demi kehidupan yang lebih baik. Bagaimanapun, saya tidak pernah
gentar melaluinya.
Saya terbayang perkataan
Imam Al-Ghazali yang menjadi pembopong
hidup saya. Hijrahlah, dan jangan takut
dengan apa yang kau tinggalkan, karena kau akan mendapatkan penggantinya,
bahkan lebih baik. Banyak pembelajaran dari setiap langkah dan embusan
napas yang kita lalui, walaupun manusia tidak akan mampu mempelajari seluruh
ilmu yang terkandung di alam jagad raya ini.
Penggalan kalimat Ghazali menjadi cemeti
agar saya tak ragu melangkah. Menimba ilmu di Turki dalam usia 19 tahun adalah
keputusan dan kesempatan yang tak boleh dibuang percuma. Saya melihat banyak
anak yang lebih muda berani melanglang buana. Bahkan dengan keadaan finansial
terbatas. Saya pun harus bisa. Saya yakin, langkah awal selalu terjal dan
berliku. Namun, awal hanyalah berkisar mingguan atau bulanan. Sisamya adalah
kemanisan perjalanan hidup. Saya bertekad belajar mandiri, melupakan sejenak
bayangan dan kenangan di kampung halaman, demi menggapai impian menimba ilmu di
negeri orang. Ini akan jadi bekal masa depan.
Bagi orang yang terbiasa terbang dengan
pesawat rute internasional, mungkin segala sesuatu yang ada di bandara
merupakan hal biasa. Bagi saya, menemukan monitor tv, menikmati kursi elektrik
yang bisa maju mundur, bahkan mencicipi kamar kecil di pesawat sekadar untuk
buang hajat kecil adalah pengalaman yang mengagumkan. Ya, saya ini lagi-lagi
orang udik dari desa kecil di Aceh. Tapi saya bahagia, Allah memberi kesempatan
menjadi udik dan ndeso pada usia muda ini.
Di bandara Doha menuju Istanbul, kami tak
lagi ditemani pembimbing sehingga kami harus mengurus sendiri berbagai proses
keberangkatan, misalnya boarding pass
dan check in. sekali lagi, saya yakin
Allah tidak akan melepas kami begitu
saja. Kami dipertemukan dengan perempuan Indonesia yang ingin berlibur musim
dingin ke Istanbul. Debi namanya. Dia sangat membantu kami dengan segala hal.
Mengisi kekosongan waktu keberangkatan, banyak sekali hal yang kami lakukan di
bandara itu. Dan Debi terus menemani saya. Perempuan asal Bandung yang memakai
rok mini dan bot tebal itu adalah teman yang menyenangkan. Saya tak bisa
membayangkan apa yang harus saya lakukan selama waktu tunggu yang menjenuhkan itu
jika tidak berkenalan dengannya. Walaupun tanpa kerudung, Debi adalah muslimah
yang takkan pernah saya lupa jasanya dalam perjalanan besar ini.
Dalam kabin pesawat itu, lagi-lagi kami
dipertemukan dengan seorang bapak Turki bernama Fathan. Dia duduk tepat
disamping saya. Dia tinggal di Antalya, berdekatan dengan Istanbul. Seorang
yang ramah dan akrab. Pak Fathan banyak bercerita tentang keluarganya. Saya
hanya bisa mengiyakan ceritanya karena tidak memahami semua kata yang keluar
dari mulutnya. Apalagi Pak Fathan tidak bisa berbahasa inggris dengan baik.
Saya hanya menangkap kata-kata “business”,
“family”, “children”, “Antalya”,
dan terakhir “what’s your name” dan “what do you do”. Sisanya adalah bahasa
Turki yang penuh dengan decak-decak pada akhirannya. Walhasil, kami berbahasa
monyet. Walau bahsa kingkong bertemu bahasa gorilla, toh saya paham dia adalah
pebisnis dan dia tahu saya calon pelajar di Istanbul.
Perjalanan menuju turki ditempuh dalam
waktu 5 jam. Dari jendela pesawat yang berembun, saya melihat bulir-bulir putih
berjatuhan. Hingga pesawat mendarat, udara yang begitu dingin mulai terasa
menusuk tulang dan membekukan darah. Untunglah saya memakai jaket tebal yang
telah disiapkan dari Indonesia. Dingin yang sangat itu bisa sedikit teratasi.
Saya mulai mengatur jaket dan sarung tangan sambil mengambil tas di kompartemen
pesawat untuk bersiap keluar. Subhanallah,
saya tiba di Istanbul! Nama yang dulu hanya bertakhta dalam mimpi panjang.
Perkenalan dengan Pak Fathan di pesawat
ternyata punya makna mendalam. Dia membantu di loket pemeriksaan imigrasi untuk
memverifikasi kedatangan. Tak hanya itu, dia juga mengambilkan barang-barang di
areal pengambilan bagasi. Ini sungguh kuasa Tuhan yang begitu besar. Tanpa
beliau, saya pasti kalang kabut mengurusi tetek-bengek yang didominasi bahasa
Turki.
Saya terenyak. Begitu pintu keluar pintu
bandara, saya melihat beberapa pelajar Indonesia di Turki bersama rombongan
orang-orang Turki menjemput kami. Ini adalah penghargaan yang sangat luar
biasa. Penghargaan itu seakan menggunung saat saya menyaksikan pemandangan yang
takkan pernah terjadi di Aceh sekalipun. Salju! Asap keluar dari mulut kami.
Sungguh seperti melihat adegan film. Tapi ini bukan mimpi; saya merasakannya di
alam nyata.
Penjemput mengantar kami ke mobil yang
sudah menunggu di luar, yang langsung membawa kami ke tempat yang disebut-sebut
sebagai asrama. Pemandangan menuju asrama terlihat sangat indah dan
menyenangkan. Banyak lampu yang terlihat
seperti kotak-kotak beraturan sangat memikat hati, membuat mata seakan enggan
berkedip.
Setelah kami mampu melihat titik kecil
kota Istanbul dari bandara, mobil berbentuk bus yang lumayan besar pembawa kami
tiba-tiba berhenti di bangunan enam tingkat. Papan nama yang tertera di depan
bangunan bertuliskan “Emmiyet Kiz Kuran Kursu”. Saya yakin ini adalah asrama
tempat kami akan menetap. Asrama inilah yang akan menjadi rumah kami selama
beberapa tahun ke depan. Di tempat inilah sebagian orang dari berbagai negara
yang ingin belajar di Turki dikumpulkan, sebelum dilepaskan ke sejumlah
universitas yang ada di Turki, seperti Istanbul, Ankara, dan beberapa kota lain.
Di sana, kami disambut anggota asrama yang
saat itu tengah asyik bermain salju. Mereka membantu mengangkat barang-barang
kami. Yang pertama menyalami dan memeluk saya adalah Nadia, pelajar dari
Malaysia. Pelajar-pelajar lain dari berbagai negara menyusul menyalami dan
memeluk serta mencium pipi saya. Saat itu saya sadar, merekalah saudara-saudara
saya nanti.
Walau bahagia, saya begitu kedinginan dan
lelah. Dinginnya salju pertama ini sangat menusuk, menghunjam tulang.
Makaroni adalah makanan pertama yang
mengisi perut kami setiba di Turki. Karena masih mual dan kelelahan, saya tidak
sanggup memakannya. Setelah itu, kami diberi waktu untuk menghubungi keluarga
melalui telepon asrama. Membayangkan di Indonesia masih pukul 2 pagi , saya
khawatir Ayah tidak akan mengangkat panggilan telepon saya. Alhamdulillah,
setelah menekan nomor yang sangat lekat dalam kepala itu, saya bisa mendengar
suaranya di ujung telepon. Keharuan kembali menyelimuti. Kini, jarak dengan
semua orang yang saya sayangi sangat jauh. Saya terlempar jauh dari tanah
leluhur. Saya panjatkan do’a agar Allah selalu menjaga orang-orang yang saya
sayangi dan berkenan mempertemukan kembali. Setelah tugas belajar selesai, ke
Aceh saya akan kembali.
Salah seorang saudara bertanya pada saya, “Gimana menjalani kehidupan
disana, mbak?”
Jawaban saya, “tidak ingin kembali kesini lagi, hahahaha!”
Jika telah berhasil di tanah rantau, jangan lupa untuk kembali tanah
air. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar