Minggu, 02 Februari 2014

Ke Aceh Saya Akan Kembali


Menjalani kehidupan di negeri  orang sungguh memberikan sensasi tersendiri. Berikut ini adalah salah satu cerita pengalaman seorang mahasiswi yang menjalani kehidupannya di benua Eropa. Kisah ini saya ambil dari buku yang berjudul “Berjalan di Atas Cahaya” yang ditulis oleh Hanum Salsabiela Rais dan kawan-kawan.
gambar diambil dari google


Istanbul Turki, Februari 2012
Berkelana hingga ke negera lain merupakan impian dan dambaan banyak orang. Apalagi Eropa. Melihat indahnya alam, merasakan semua peradaban dan perkembangan negara-negara maju, mempelajari tata bahasa dan sistem komunikasi baru, mengenal adat dan tradisi yang berbeda.
     Ini adalah sebuah penggal cerita yang biasa. Sama sekali tidak extravaganza. Ribuan orang pernah mengalaminya. Ribuan orang pula mengalami kegagalan, namun juga mengunduh kesuksesan. Ini adalah cerita saya dan ribuan orang yang akan datang, yang bercita-cita pergi jauh namun bertekad untuk kembali.
     Langkah kaki saya berawal dari tawaran beasiswa organisasi Turki yang merambat melalui Sekolah Turki di Aceh, yaitu Fatih Bilingual School. Setelah melalui beberapa proses, akhirnya saya dan 5 perempuan lain, juga 8 putra Aceh, dinyatakan lulus mendapatkan beasiswa. Kami pun diberangkatkan ke Istanbul, Turki. Perjalanan ini menuai berbagai cerita, rasa, dan pengalaman baru dari pengharapan besar menggapai mimpi di negara lain. Inilah perjalanan pertama saya ke negeri orang. Dan sekonyong-konyongnya, negeri itu adalah Turki!
     Isak tangis keluarga pecah pada senin, 30 januari 2012. Di Bandara Sultan Iskandar Muda Blang Bintang, Aceh Besar, mereka harus melepas saya, si putri sulung. Pagi itu, buliran air mata mengalir seakan membanjiri tiap jengkal lantai terminal keberangkatan bandara. Saya tak bisa melupakan hari yang menjadi awal babak baru dalam kehidupan saya itu. Hari ini aku akan meninggalkan tempat yang menjadi pijakanku selama ini, saya membatin. Aceh, aku ‘kan meninggalkanmu.
    Saya seperti berada di ruang hampa udara. Semua harapan menggumpal layaknya awan besar berlapis. Seperti manusia yang mengharapkan hujan turun, kini harapan saya bagai awan pekat yang mengantung di hamparan padang pasir kering kerontang. Begitu juga semua yang mengantar saya siang itu. Mereka menggantungkan harapan besar akan keberhasilan saya merantau ke negara yang pernah hinggap di dalam mimpi. Negeri para sufi bernama Turki. Apalagi orang tua telah mengorbankan banyak hal. Kini, mereka harus rela melepas saya pergi. Seluruh ritual adat telah saya tunaikan sebelum meninggalkan tanah leluhur. Berziarah ke makam keluarga, menjalankan prosesi adat peusijuk, semua menjadi simbol ketulusan mereka melepas saya. Agar saya tenang memulai kehidupan baru di negeri orang.
     Bulir air mata terus mengalir ketika saya menyalami dan memeluk satu per satu kerabat dan sahabat sebelum melangkah masuk ke ruang tunggu pesawat. Saya akan diterbangkan ke Jakarta terlebih dulu, sebelum benar-benar meninggalkan negeri ini.
     Ya Tuhan, hamba tidak ingin melepas pelukan ini, begitu juga dengan genggaman tangan sahabat, Ayah, Bunda, dan adik-adik. Hamba pasti akan sangat merindukan mereka, gumam saya dalam hati.
     Ada do’a tulus yang mengalir dalam sukma. Semoga semua yang harus saya tinggalkan saat itu dipertemukan kembali dalam situasi yang lebih indah nantinya. Saya dan teman-teman selalu merindukan tanah air.
     Jarum jam menunjukkan pukul 12:00 WIB. Ini adalah waktu lepas landas pesawat yang akan membawa saya. Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda menjadi saksi bisu hari itu. Ketika roda pacu berpisah dengan landasan, babak baru dalam kehidupan akan segera dimulai.
     Saya harus bisa mengemban amanah besar yang mereka berikan. Do’a dan harapan mereka tersimpan di lubuk terdalam hati dan dasar jiwa dan menjadi kekuatan utama saya.
     Bayangan perpisahan terakhir masih hinggap di memori, meski bumi Serambi Mekah telah hilang dari pandangan. Mata saya sembap. Seakan tak ingin terus larut, saya mencoba menenangkan diri sambil memandangi panorama dari balik kaca jendela pesawat. Saya harus kuat. Toh kepergian ini bukan tanpa alasan.
     Menempuh rute perjalanan udara selama 3 jam, pesawat mendarat di Jakarta. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Bandara Soekarna-Hatta. Saya belum terbiasa dengan beberapa tetek-bengek penerbangan. Ya, saya ini orang desa yang sangat beruntung. Keberuntungan yang kemudian berlanjut. Rombongan kami ditemani petugas dari sekolah Charisma asal Turki. Dia adalah Yunisha Abla. Kami menunggunya hingga menjelang Maghrib, di bandara yang padat dan penat itu. Dia akan membantu kami mengurus urusan perjalanan. Saya selalu yakin bahwa dalam setiap perjalanan, jika kita terlalu takut tetapi kita juga selalu berdo’a, semuanya akan baik-baik saja. Perjalanan pertama yang terbesar dalam hidup ini rasanya menjadi perjalanan termudah berkat orang-orang yang sama sekali belum saya kenal sebelumnya.
***
     Hidup adalah pembelajaran yang tiada henti hingga napas terhenti. Perjuangan yang tiada habisnya. Perlombaan sudah dimulai dari alam kandungan ketika benih-benih kehidupan berjuang menembus sel telur hingga keluar satu diantara ribuan sebagai pemenang pertama. Setiap orang dilahirkan untuk menjadi istimewa. Karena itu, saya tidak akan melewatkan setiap detik dengan percuma. Berlari, jatuh, dan bangkit adalah alur dari kehidupan.
     Sangat berat melepaskan keluarga tercinta, sahabat-sahabat, dan semua rutinitas. Meninggalkan zona nyaman dalam hidup adalah perjuangan yang saya anggap berat, walaupun semua demi kehidupan yang lebih baik. Bagaimanapun, saya tidak pernah gentar melaluinya.
    Saya terbayang perkataan Imam Al-Ghazali yang menjadi pembopong hidup saya. Hijrahlah, dan jangan takut dengan apa yang kau tinggalkan, karena kau akan mendapatkan penggantinya, bahkan lebih baik. Banyak pembelajaran dari setiap langkah dan embusan napas yang kita lalui, walaupun manusia tidak akan mampu mempelajari seluruh ilmu yang terkandung di alam jagad raya ini.
     Penggalan kalimat Ghazali menjadi cemeti agar saya tak ragu melangkah. Menimba ilmu di Turki dalam usia 19 tahun adalah keputusan dan kesempatan yang tak boleh dibuang percuma. Saya melihat banyak anak yang lebih muda berani melanglang buana. Bahkan dengan keadaan finansial terbatas. Saya pun harus bisa. Saya yakin, langkah awal selalu terjal dan berliku. Namun, awal hanyalah berkisar mingguan atau bulanan. Sisamya adalah kemanisan perjalanan hidup. Saya bertekad belajar mandiri, melupakan sejenak bayangan dan kenangan di kampung halaman, demi menggapai impian menimba ilmu di negeri orang. Ini akan jadi bekal masa depan.
     Bagi orang yang terbiasa terbang dengan pesawat rute internasional, mungkin segala sesuatu yang ada di bandara merupakan hal biasa. Bagi saya, menemukan monitor tv, menikmati kursi elektrik yang bisa maju mundur, bahkan mencicipi kamar kecil di pesawat sekadar untuk buang hajat kecil adalah pengalaman yang mengagumkan. Ya, saya ini lagi-lagi orang udik dari desa kecil di Aceh. Tapi saya bahagia, Allah memberi kesempatan menjadi udik dan ndeso pada usia muda ini.
     Di bandara Doha menuju Istanbul, kami tak lagi ditemani pembimbing sehingga kami harus mengurus sendiri berbagai proses keberangkatan, misalnya boarding pass dan check in. sekali lagi, saya yakin Allah tidak akan melepas kami  begitu saja. Kami dipertemukan dengan perempuan Indonesia yang ingin berlibur musim dingin ke Istanbul. Debi namanya. Dia sangat membantu kami dengan segala hal. Mengisi kekosongan waktu keberangkatan, banyak sekali hal yang kami lakukan di bandara itu. Dan Debi terus menemani saya. Perempuan asal Bandung yang memakai rok mini dan bot tebal itu adalah teman yang menyenangkan. Saya tak bisa membayangkan apa yang harus saya lakukan selama waktu tunggu yang menjenuhkan itu jika tidak berkenalan dengannya. Walaupun tanpa kerudung, Debi adalah muslimah yang takkan pernah saya lupa jasanya dalam perjalanan besar ini.
     Dalam kabin pesawat itu, lagi-lagi kami dipertemukan dengan seorang bapak Turki bernama Fathan. Dia duduk tepat disamping saya. Dia tinggal di Antalya, berdekatan dengan Istanbul. Seorang yang ramah dan akrab. Pak Fathan banyak bercerita tentang keluarganya. Saya hanya bisa mengiyakan ceritanya karena tidak memahami semua kata yang keluar dari mulutnya. Apalagi Pak Fathan tidak bisa berbahasa inggris dengan baik. Saya hanya menangkap kata-kata “business”, “family”, “children”, “Antalya”, dan terakhir “what’s your name” dan “what do you do”. Sisanya adalah bahasa Turki yang penuh dengan decak-decak pada akhirannya. Walhasil, kami berbahasa monyet. Walau bahsa kingkong bertemu bahasa gorilla, toh saya paham dia adalah pebisnis dan dia tahu saya calon pelajar di Istanbul.
     Perjalanan menuju turki ditempuh dalam waktu 5 jam. Dari jendela pesawat yang berembun, saya melihat bulir-bulir putih berjatuhan. Hingga pesawat mendarat, udara yang begitu dingin mulai terasa menusuk tulang dan membekukan darah. Untunglah saya memakai jaket tebal yang telah disiapkan dari Indonesia. Dingin yang sangat itu bisa sedikit teratasi. Saya mulai mengatur jaket dan sarung tangan sambil mengambil tas di kompartemen pesawat untuk bersiap keluar. Subhanallah, saya tiba di Istanbul! Nama yang dulu hanya bertakhta dalam mimpi panjang.
     Perkenalan dengan Pak Fathan di pesawat ternyata punya makna mendalam. Dia membantu di loket pemeriksaan imigrasi untuk memverifikasi kedatangan. Tak hanya itu, dia juga mengambilkan barang-barang di areal pengambilan bagasi. Ini sungguh kuasa Tuhan yang begitu besar. Tanpa beliau, saya pasti kalang kabut mengurusi tetek-bengek yang didominasi bahasa Turki.
     Saya terenyak. Begitu pintu keluar pintu bandara, saya melihat beberapa pelajar Indonesia di Turki bersama rombongan orang-orang Turki menjemput kami. Ini adalah penghargaan yang sangat luar biasa. Penghargaan itu seakan menggunung saat saya menyaksikan pemandangan yang takkan pernah terjadi di Aceh sekalipun. Salju! Asap keluar dari mulut kami. Sungguh seperti melihat adegan film. Tapi ini bukan mimpi; saya merasakannya di alam nyata.
     Penjemput mengantar kami ke mobil yang sudah menunggu di luar, yang langsung membawa kami ke tempat yang disebut-sebut sebagai asrama. Pemandangan menuju asrama terlihat sangat indah dan menyenangkan. Banyak lampu  yang terlihat seperti kotak-kotak beraturan sangat memikat hati, membuat mata seakan enggan berkedip.
     Setelah kami mampu melihat titik kecil kota Istanbul dari bandara, mobil berbentuk bus yang lumayan besar pembawa kami tiba-tiba berhenti di bangunan enam tingkat. Papan nama yang tertera di depan bangunan bertuliskan “Emmiyet Kiz Kuran Kursu”. Saya yakin ini adalah asrama tempat kami akan menetap. Asrama inilah yang akan menjadi rumah kami selama beberapa tahun ke depan. Di tempat inilah sebagian orang dari berbagai negara yang ingin belajar di Turki dikumpulkan, sebelum dilepaskan ke sejumlah universitas yang ada di Turki, seperti Istanbul, Ankara, dan beberapa kota lain.
     Di sana, kami disambut anggota asrama yang saat itu tengah asyik bermain salju. Mereka membantu mengangkat barang-barang kami. Yang pertama menyalami dan memeluk saya adalah Nadia, pelajar dari Malaysia. Pelajar-pelajar lain dari berbagai negara menyusul menyalami dan memeluk serta mencium pipi saya. Saat itu saya sadar, merekalah saudara-saudara saya nanti.
     Walau bahagia, saya begitu kedinginan dan lelah. Dinginnya salju pertama ini sangat menusuk, menghunjam tulang.
     Makaroni adalah makanan pertama yang mengisi perut kami setiba di Turki. Karena masih mual dan kelelahan, saya tidak sanggup memakannya. Setelah itu, kami diberi waktu untuk menghubungi keluarga melalui telepon asrama. Membayangkan di Indonesia masih pukul 2 pagi , saya khawatir Ayah tidak akan mengangkat panggilan telepon saya. Alhamdulillah, setelah menekan nomor yang sangat lekat dalam kepala itu, saya bisa mendengar suaranya di ujung telepon. Keharuan kembali menyelimuti. Kini, jarak dengan semua orang yang saya sayangi sangat jauh. Saya terlempar jauh dari tanah leluhur. Saya panjatkan do’a agar Allah selalu menjaga orang-orang yang saya sayangi dan berkenan mempertemukan kembali. Setelah tugas belajar selesai, ke Aceh saya akan kembali.
Salah seorang saudara bertanya pada saya, “Gimana menjalani kehidupan disana, mbak?”
Jawaban saya, “tidak ingin kembali kesini lagi, hahahaha!”

Jika telah berhasil di tanah rantau, jangan lupa untuk kembali tanah air. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar